Assalamu'alaikum, Hellooo, Welcome to Ine Lettysia's Blog !!!

Rabu, 18 Desember 2013

Analisis Pengaruh AFTA terhadap Industri Sektor Riil dan Sektor Tenaga Kerja

Kelompok
Ade Melisa                              (20212126)
Eva Nor Octania                      (22212575)
Indriyani Rachmawati               (28212419)
Ine Lettysia                              (23212728)
Malicha Aulia Zatalini               (24212401)
Kelas                                       SMAK06-3
ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk  suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta  serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. AFTA dibentuk pada waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Para kepala negara mengumumkan pembentukan suatu kawasan perdagangan bebas di ASEAN (AFTA) dalam jangka waktu yang ditargetkan yaitu 15 tahun, kemudian dipercepat menjadi tahun 2003 dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area ( CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui beberapa program : program pengurangan tingkat tarif yang secara efektif sama di  antara   negara- negara ASEAN hingga menjadi 0-5%, program penghapusan pembatasan kuantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya dan program untuk mendorong kerjasama dan mengembangkan fasilitasi perdagangan terutama di     bidang bea masuk serta standar dan kualitas. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015. Diharapkan melalui kesepakatan dari program-program tersebut seluruh Negara anggota dapat mencapai kesejahteraan seiring dengan implementasi dan peningkatan kegiatan perdagangan dalam AFTA.
 1. Negara Anggota AFTA
Ketika persetujuan AFTA ditandatangani resmi, ASEAN memiliki enam anggota, yaitu Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Kemudian Vietnam bergabung pada 1995, Laos dan Myanmar pada 1997 dan Kamboja pada 1999. AFTA sekarang terdiri dari sepuluh negara ASEAN. Keempat pendatang baru tersebut dibutuhkan untuk menandatangani persetujuan AFTA untuk bergabung ke dalam ASEAN, namun diberi kelonggaran waktu untuk memenuhi kewajiban penurunan tarif AFTA. Sebagai contoh dari keanggotaan AFTA adalah sebagai berikut, Vietnam menjual sepatu ke Thailand, Thailand menjual radio ke Indonesia, dan Indonesia melengkapi lingkaran tersebut dengan menjual kulit ke Vietnam.  Melalui spesialisasi bidang usaha,  tiap bangsa akan mengkonsumsi lebih banyak dibandingyang dapat diproduksinya sendiri.
2. Tujuan dari AFTA
  • menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global.
  • menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI).
  • meningkatkan perdagangan antar negara anggota ASEAN (intra-ASEAN Trade)
3 . Kriteria Produk Dalam Konsep CEPT – AFTA
  • Produk terdapat dalam Inclusion List (IL) baik di Negara tujuan maupun di negara asal, dengan prinsip timbale balik (reciprosity). Artinya suatu produk dapat menikmati preferensi tarif di negara tujuan ekspor (yang tentunya di negara tujuan ekspor produk tersebut sudah ada dalam IL), maka produk yang sama juga harus terdapat dalam IL dari negara asal.
  • Produk harus disertai Certificate of Origin Form D, yang dapat diperoleh pada Kantor Dinas atau Suku Dinas Perindustrian dan Perdagangan di seluruh Indonesia.
4. Beberapa istilah dalam CEPT-AFTA
  1. Fleksibilitas adalah suatu keadaan dimana ke-6 negara anggota ASEAN apabila belum siap untuk menurunkan tingkat tarif produk menjadi 0-5% pada 1 Januari 2002, dapat diturunkan pada 1 Januari 2003. Sejak saat itu tingkat tarif bea masuk dalam AFTA sebesar maksimal 5%.
  2. CEPT  Produk List
  • Inclusion List (IL) : daftar yang memuat cakupan produk yang harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
    • Produk tersebut harus disertai Tarif Reduction Schedule.
    • Tidak boleh ada Quantitave Restrictions (QRs).
    • Non-Tarif Barriers (NTBs) lainnya harus dihapuskan dalam waktu 5 tahun.
  • Temporary Exclusion (TEL) : daftar yang memuat cakupan produk yang sementara dibebaskan dari kewajiban penurunan tarif, penghapusan QRs dan NTBs lainnya serta secara bertahap harus dimasukkan ke dalam IL.
  • Sensitive List (SL) : daftar yang memuat cakupan produk yang diklasifikasikan sebagai Unprocessed Agricultural Products. Contohnya beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, dan cengkeh, serta produk tersebut juga harus dimasukkan ke dalam CEPT Scheme tetapi dengan jangka waktu yang lebih lama. Contohnya Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand harus telah memasukkan produk yang ada dalam SL ke dalam IL pada tahun 2010, Vietnam pada tahun 2013, Laos dan Myanmar pada tahun 2015, serta Kamboja pada tahun 2017.
  • General Exception (GE) List : daftar yang memuat cakupan produk yang secara permanen tidak perlu untuk dimasukkan ke dalam CEPT Scheme dengan alas an keamanan nasional, keselamatan/kesehatan umat manusia, binatang dan tumbuhan, serta pelestarian objek arkeologi, dan sebagainya (Article 9b of CEPT Agreement). Contohnya antara lain senjata, amunisi, da narkotika. Produk Indonesia dalam GE List hingga saat ini sebanyak 96 pos tarif.
5.  Analisis Pengaruh AFTA terhadap industri sektor rii dan sektor tenaga kerja
Bagaimana pengaruh dari implementasi AFTA bagi sektor riil di Indonesia?
Dalam pengertian umum sektor riil adalah sektor yang menghasilkan barang, contohnya: pertanian, pertambangan, dan industri. AFTA pada dasarnya bisa dijadikan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan sektor riil ini, karena dengan adanya adanya AFTA hasil produksi dari sektor riil dapat dipasarkan secara lebih luas dalam artian peluang  pemasaran produknya, sehingga jika semakin banyak barang hasil produksi yang bisa dijual secara internasional (ekspor) maka perusahaan-perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan usahanya pun akan menjadi lebih berkembang. Selain itu dari kebijakan AFTA yang diketahui memiliki kesepakatan untuk mengurangi biaya impor barang antar negara juga akan mempermudah pihak produsen yang memang membutuhkan barang modal dan bahan baku bagi produksi usahanya dari negara anggota ASEAN lainnya. Bagi pihak konsumen atau rumah tangga juga AFTA memberikan keuntungan karena jenis/ragam produk yang tersedia di pasar menjadi semakin beragam dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Intinya kerjasama antara seluruh anggota AFTA akan semakin mudah dan terbuka dan secara tidak langsung AFTA juga memicu perkembangan perekonomian Indonesia dari pendapatan negaranya di bagian ekspor dan impor . Tapi dibalik itu AFTA juga memiliki sisi negatif yang justru bisa membawa balik ke arah kerugian apabila  sektor riil tidak bisa menyesuaikan dengan keadaan, contohnya adalah membuat produk lokal Indonesia  kalah saing apabila dibandingkan dengan produk import. Jika sektor riil tidak berusaha untuk meningkatkan kualitas produksinyan ataupun tidak bisa mempercepat waktu produksinya misalkan, maka akan kalah bersaing dengan negara lainnya yang bisa memproduksi barang yang lebih berkualiatas dan tepat waktu. Seperti  di sektor pertanian, produksi beras contohnya. Indonesia sebenarnya salah satu negara penghasil beras yang cukup besar tapi Indonesia sendiri ternyata masih harus mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam untuk memenuhi kebutuhan akan konsumsi berasnya. Hal ini ternyata disebabkan karena Indonesia masih kalah daya saing produksi berasnya jika dibandingkan dengan dua negara tersebut. Thailand dan Vietnam dianggap lebih mampu mengahsilkan beras yang lebih berkualiatas dalam jumlah yang sangat banyak. Sedangkan produksi beras di Indonesia dianggap masih lambat dan kurang berkualitas. Atas dasar alasan ini kemudian yang membuat produk beras di Indonesia jatuh dan kalah saing dengan produk beras impor dari Thailand dan Vietnam, sehingga harga beras Indonesia pun jatuh di pasaran dan sektor pertanian di Indonesia mengalami pemerosotan pendapatan.  Tidak hanyak di sektor pertanian bagian produksi beras saja, dibeberapa sektor riil lainnya pun ternyata Indonesia masih memiliki daya saing yang lemah sehingga pada akhirnya hasil produksi Indonesia kalah saing dengan produk impor dari negara ASEAN lainnya  hal ini yang kemudian membuat beberapa industri nasional gulung tikar . Solusi atas masalah ini salah satunya adalah  pengusaha/produsen Indonesia disektor riil harus terus menerus  meningkatkan kemampuan dalam menjalankan bisnis secara profesional dan juga kualitas daya saing barang produksinya guna dapat memenangkan kompetisi dengan negara anggota ASEAN lainnya.
Bagaimana pengaruh dari implementasi AFTA bagi sektor tenaga kerja di Indonesia?
Setelah menganalis pengaruh dari implementasi AFTA di setor riil sekarang akan dibahas pengaruhnya pada sektor tenaga kerja, infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia dinilai belum siap menghadapi AFTA ini karena dianggap kualitas SDM dan infrastruktur kita belum cukup memadai. Pada dasarnya AFTA memang sangat potensial untuk memperluas jejaring pasar sekaligus menambah insentif, karena tidak adanya lagi pembatasan kuota produk. Namun, bagi Indonesia bukan melulu keuntungan, sebab AFTA juga bisa menjadi ancaman bila pemerintah RI tidak mempersiapkan SDM dan infrastruktur dalam negeri. Dampak terburuk ini justru mengancam masyarakat lapisan paling bawah. AFTA akan mempercepat proses deindustrialisasi dan mempersempit kesempatan kerja. Bagi perusahaan yang kurang efisien dan mengalami kerugian dengan adanya implementasi AFTA akan cenderung menahan biaya produksi melalui penghematan penggunaan tenaga kerja tetap, sehingga job security tenaga kerja menjadi rapuh dan angka pengangguran diperkirakan meningkat. Dalam jangka pendek AFTA itu bisa membuat angka pengangguran membengkak. Situasi  ketenagakerjaan  ini bisa merapuhkan fundamental ekonomi Indonesia. AFTA akan menjadi masalah baru dalam ketenagakerjaan di Indonesia. Dalam jangka pendek, diprediksi  Indonesia akan mengalami neto negatif yang tidak hanya merugikan sektor industri dan ketenagakerjaan, tapi juga penerimaan negara dari pajak. Oleh karena itu SDM di Indonesia harus lebih dikembangkan lagi dan diperbaiki kualitasnya agar tidak rapuh ketika AFTA diterapkan.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar