Assalamu'alaikum, Hellooo, Welcome to Ine Lettysia's Blog !!!

Rabu, 09 April 2014

PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK


Kesehatan bank dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan opeasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan perbankan yang belaku. Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan atas Undang-udang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubung-an dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian
Penilaian kesehatan bank umum di Indonesia miliki dasar hukum, yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 13/1/PBI/2011 tanggal 5 Januari 2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. PBI tersebut menggantikan PBI sebelumnya Nomor No. 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Petunjuk teknis pelaksanaanya mengacu ke Surat Edaran Bank Indonesia No.13/ 24 /DPNP tanggal 25 Oktober 2011.
Bank diwajibkan untuk melakukan penilaian sendiri (self assessment) Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan pendekatan Risiko (Risk-based Bank Rating/RBBR) baik secara individual maupun secara konsolidasi, dengan cakupan penilaian meliputi faktor-faktor sebagai berikut: Profil Risiko (risk profile), Good Corporate Governance (GCG), Rentabilitas (earnings), dan Permodalan (capital) untuk menghasilkan Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank.
PRINSIP-PRINSIP UMUM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN
BANK UMUM
Manajemen Bank perlu memperhatikan prinsip-prinsip umum berikut ini sebagai landasan dalam menilai Tingkat Kesehatan Bank.
1. Berorientasi Risiko
Penilaian tingkat kesehatan didasarkan pada Risiko-Risiko Bank dan dampak yang ditimbulkan pada kinerja Bank secara keseluruhan. Hal ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi faktor internal maupun eksternal yang dapat meningkatkan Risiko atau mempengaruhi kinerja keuangan Bank pada saat ini dan di masa yang akan datang. Dengan demikian, Bank diharapkan mampu mendeteksi secara lebih dini akar permasalahan Bank serta mengambil langkah-langkah pencegahan dan perbaikan secara efektif dan efisien.
2. Proporsionalitas
Penggunaan parameter/indikator dalam tiap faktor penilaian Tingkat Kesehatan Bank dilakukan dengan memperhatikan karakteristik dan kompleksitas usaha Bank. Parameter/indikator penilaian Tingkat Kesehatan Bank dalam Surat Edaran ini merupakan standar minimum yang wajib digunakan dalam menilai Tingkat Kesehatan Bank. Namun demikian, Bank dapat menggunakan parameter/indikator tambahan yang sesuai dengan karakteristik dan kompleksitas usahanya dalam menilai Tingkat Kesehatan Bank sehingga dapat mencerminkan kondisi Bank dengan lebih baik.
3. Materialitas dan Signifikansi
Bank perlu memperhatikan materialitas atau signifikansi faktor penilaian Tingkat Kesehatan Bank yaitu Profil Risiko, GCG, Rentabilitas, dan Permodalan serta signifikansi parameter/indikator penilaian pada masing-masing faktor dalam menyimpulkan hasil penilaian dan menetapkan peringkat faktor. Penentuan materialitas dan signifikansi tersebut didasarkan pada analisis yang didukung oleh data dan informasi yang memadai mengenai Risiko dan kinerja keuangan Bank.
4. Komprehensif dan Terstruktur
Proses penilaian dilakukan secara menyeluruh dan sistematis serta difokuskan pada permasalahan utama Bank. Analisis dilakukan secara terintegrasi, yaitu dengan mempertimbangkan keterkaitan antar Risiko dan antar faktor penilaian Tingkat Kesehatan Bank serta perusahaan anak yang wajib dikonsolidasikan. Analisis harus didukung oleh fakta-fakta pokok dan rasio-rasio yang relevan untuk menunjukkan tingkat, trend, dan tingkat permasalahan yang dihadapi oleh Bank.

CAMEL
CAMEL yang berlaku mulai tahun 1991 berdasarkan Surat Edaran BI No. 23/21/BPPP tanggal 28 Februari 1991. Pada CAMEL, sebagian besar proses penilaian kesehatan bank menggunakan rumus-rumus matematika dan sistem scoring dari hasil penilaiaj untuk setiap parameter, yaitu dengan skala 0 sampai 100. Dan nilai akhir dari kesehatan bank pun akhirnya berupa angka yang selanjutnya menentukan klasifikasi kesehatan bank yaitu “Sehat”, “Cukup Sehat”, “Kurang Sehat” dan “Tidak Sehat”. Indikator pada CAMEL tersebut juga sangat sederhana, yaitu:
  1. Penilaian “Capital” hanya menggunakan satu ukuran saja, yaitu CAR (Capital Adequacy Ratio) yaitu “Rasio modal terhadap aktiva tertimbang menurut risiko”;
  2. Penilaian “Asset Quality” berdasarkan kualitas aktiva produktif bank dengan menggunakan dua indikator yaitu “Rasio aktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap aktiva produktif” dan “Rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif terhadap aktiva produktif yang diklasifikasikan”;
  3. Penilaian “Management” menggunakan 250 pertanyaan, yang mencakup manajemen permodalan, manajemen aktiva, manajemen umum, manajemen rentabilitas, dan manajemen likuiditas;
  4. Penilaian “Earning” menggunakan dua ukuran yaitu ROA (rasio laba terhadap total aset) dan BOPO (rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional); dan
  5. Penilaian “Liquidity” menggunakan LDR  yaitu “rasio kredit terhadap dana yang diterima” dan “Rasio kewajiban call money bersih terhadap aktiva lancar”
CAMELS
Struktur atau komponen penilaian bank yang lama tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 serta ketentuan pelaksanaannya sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004. Semua komponen pada CAMELS 2004 lebih mengarah pada ukuran-ukuran kinerja perusahaan secara internal, mulai dari Asset Quality, Management, Earning Power, dan Liquidity, serta Sensitivity to Market Risk. Sistem penilaian dengan 5 faktor tersebut sering disebut dengan CAMELS Rating System. Tatacara CAMEL secara umum adalah sebagai berikut:
Pertama, hitunglah nilai indikator atau komponen penilaian untuk setiap faktor sesuai dengan rumus yang telah ditetapkan pada Peraturan Bank Indonesi berikut Surat Edarannya.
Kedua, berdasarkan nilai komponen tersebut, misalnya CAR, lihatlah pada matriks penilaian komposit untuk faktor permodalan yang telah disediakan oleh BI. Dari matriks tersebut kita akan mengetahui nilai peringkatnya jika diketahui nilai CAR. Misalnya, bank dengan CAR = 8% akan memperoleh nilai “Komposit 3”.

Ketiga, hitunglah nilai komposit untuk seluruh komponen dari mulai faktor “C” sampai “S” Sebagai contoh, faktor “C” terdiri dari 8 indikator/komponen penilaian. Jadi kita harus menilai kedelapan indikator pada faktor “C” tersebut dengan cara yang sama seperti dijelaskan pada langkah 1 dan 2 di atas.
Keempat, tetapkan nilai komposit faktor berdasarkan nilai peringkat untuk masing-masing indikator parameter penyusunnya. Jadi  kita  akan menetapkan nilai komposit untuk masing-masing faktor, yaitu “C”, “A”, “M”, “E”, “L” dan “S”. Di sinilah perlu “expert judgement”, terutama pada saat menilai faktor yang nilai indikatornya bervariasi. Misalnya, berapa nilai “faktor C” jika nilai enam indikatornya berbeda-beda. Berikut matriks penilaian peringkat faktor permodalan.

Terakhir, setelah mengetahui nilai komposit untuk 6 Faktor (CAMELS), langkah terakhir adalah menentukan nilai komposit akhir dari bank tersebut. Misalnya, jika sebuah bank memperoleh nilai komposit 1 untuk faktor “C”, komposit 2 untuk “A”, komposit 2 untuk “M”, komposit 3 untuk “E”, komposit 1 untuk “L”, dan Komposit 3 untuk “S”, maka berapa nilai Komposit akhir dari bank tersebut? Sekali lagi, tidak ada rumus matematik yang menghubungkan nilai komposit masing-masing faktor dengan nilai komposit akhir dari bank tersebut. Berikut matriks penetapan peringkat komposit bank umum.
Laporan akhir kesehatan bank umum.

RGC
Sesuai dengan Peratuan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bank wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan pendekatan berdasarkan Risiko (Risk-based Bank Rating). Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dilakukan terhadap Bank secara individual maupun konsolidasi
Tahap-tahap penilaian bank pada RGEC boleh disebut model penilaian kesehatan bank yang sarat dengan manajemen resiko. Menurut BI dalam PBI tersebut, Manajemen Bank perlu memperhatikan prinsip-prinsip umum berikut ini sebagai landasan dalam menilai Tingkat Kesehatan Bank: Berorientasi Risiko, Proporsionalitas, Materialitas dan Signifikansi, serta Komprehensif dan Terstruktur.
Yuk, kita lihat sekilas tatacara perhitungan penilaian kesehatan bank dengan metode baru ini.
Cara perhitungan pada RGEC – dibandingkan metode CAMELS – relatif berbeda signifikan pada komponen “R“, yaitu Risk Profile. Kini, penilaian Risk Profile relatif lebih “ribet” karena mengunakan matriks dengan dua dimensi. Dulu – maksudnya dengan CAMELS – kita bisa langsung mengetahui nilai peringkat (skornya antara 1 sampai 5) jika sudah mengetahui nilai indikatornya. Namun kini, ada aspek lain yang perlu dipertimbangkan sebelum memperoleh nilai akhir untuk indikator tersebut. Misalnya “ratio debitur inti terhadap total kredit” sebuah bank adalah ….%. Tahap pertamanya sama dengan metoda CAMELS yaitu menentukan peringkat jika diketahui nilai indikatornya. Contoh penjelasan untuk sebagian indikator penilaian untuk faktor Resiko Kredit dapat dilihat pada gambar berikut.
Namun dengan metode baru (RGEC), nilai rasio tersebut belum menentukan nilai akhirnya. Kita harus melihat bagaimana implementasi manajemen risiko bank terkait dengan konsentrasi nilai kredit pada para debitur kelas kakap. Andaikan bank tersebut sudah memagari risiko tersebut dengan segala kebijakan, prosedur, SOP, atau teknik pengendalian risikonya, maka bisa jadi nilai untuk indikator tersebut malah membaik, atau tidak dinilai “peringkat 3“ seperti cara CAMELS. Sebagai ilustrasi, kita lihat gambar di bawah ini.

PenilaianProfil Risiko
Penilaian Risiko inheren merupakan penilaian atas Risiko yang melekat pada kegiatan bisnis Bank, baik yang dapat dikuantifikasikan maupun yang tidak, yang berpotensi mempengaruhi posisi keuangan Bank. Karakteristik Risiko inheren Bank ditentukan oleh faktor internal maupun eksternal, antara lain strategi bisnis, karakteristik bisnis, kompleksitas produk dan aktivitas Bank, industri dimana Bank melakukan kegiatan usaha, serta kondisi makro ekonomi.
Penilaian atas Risiko inheren dilakukan dengan memperhatikan parameter/indikator yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Penetapan tingkat Risiko inheren atas masing-masing jenis Risiko mengacu pada prinsip-prinsip umum penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Penetapan tingkat Risiko inheren untuk masing-masing jenis Risiko dikategorikan ke dalam peringkat 1 (low), peringkat 2 (low to moderate), peringkat 3 (moderate), peringkat 4 (moderate to high), dan peringkat 5 (high).
Jadi untuk “Risk Profile“, kita menggunakan dua dimensi, yaitu nilai faktor dan peringkat risiko sebelum menentukan peringkat akhirnya. Atau dengan kata lain, nilai sebuah indikator merupakan fungsi dari nilai indikatornya dan kualitas manajemen risiko yang terkait dengan indikator tersebut. Inilah esensi dari penilaian kesehatan bank yang baru, yaitu kualitas manajemen risiko. Aspek “Risk Profile“ tersebut mencakup 8 (delapan) jenis Risiko yaitu:
  1. Risiko Kredit, Risiko Kredit adalah Risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank, menggunakan 12 indikator penilaian
  2. Risiko Pasar, Risiko Pasar adalah Risiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan dari kondisi pasar, termasuk Risiko perubahan harga option, menggunakan 17 indikator penilaian
  3. Risiko Operasional, Risiko Operasional adalah Risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank, menggunakan 15 indikator penilaian
  4. Risiko Likuiditas, Risiko Likuiditas adalah Risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas, dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank, menggunakan 11 indikator penilaian
  5. Risiko Hukum, Risiko Hukum adalah Risiko yang timbul akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis, menggunakan 13 indikator penilaian
  6. Risiko Stratejik, Risiko Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan Bank dalam mengambil keputusan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis, menggunakan 10 indikator penilaian
  7. Risiko Kepatuhan, Risiko Kepatuhan adalah Risiko yang timbul akibat Bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku, menggunakan 5 indikator penilaian, dan
  8. Risiko Reputasi, Risiko Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap Bank menggunakan 10 indikator penilaian.
Penilaian untuk faktor lainnya, yaitu faktor “G, E, dan C” secara umum sama seperti penilaian dengan CAMELS sebelumnya. Semua komponen menggunakan indikator/komponen penilaian yang tidak berubah drastis. Misalnya, kita lihat perbandingan indikator penilaian untuk aspek Earning antara metoda CAMELS dengan RGEC di bawah ini.

Sebagian indikator Earning versi RGEC

Sebagian indikator Earning Versi CAMELS
Sama seperti CAMELS, Metode RGEC pun dilengkapi dengan penjelasan indikator penilian, matriks kriteria, dan berbagai format lembar kerja hasil penilaiannya. Akhirnya, setelah melalui proses yang “jelimet” dengan dukungan data dan fakta yang “bejibun” – yang tidak akan diketahui seluruhnya oleh public – maka Bank di Indonesia pasti mempunyai peringkat kesehatan bank, dengan skala peringkat berikut penjelasannya adalah sebagai berikut.

Referensi:
Margianti, E.S., & Budi Hermana. (2011). Manajamen Dana Bank Prinsip dan Regulasi di Indonesia. Jakarta: Gunadarma.
Budisantoso, Totok & Sigit Triandaru. (2011). Bank dan Lembaga Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.
http://www.bi.go.id/id/peraturan/perbankan/Documents/7560419573a843e886aea5e2aecc0c49SENo13_24_DPNP.pdf
http://nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/bhermana/




PERBANKAN SYARIAH

Menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 atas Undang-udang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bank adalah badan usaha yang menghimpun dan dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank terdiri atas bank umum dan bank perkreditan rakyat. Bank umum dan bank perkreditan rakyat dapat memilih untuk melaksanakan kegiatan usahanya atas dasar prinsip bank konvensional atau bank berdasarkan prinsip syariah.
Menurut Undang-undang Perbankan Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Prinsip utama operasional bank yang berdasarkan prinsip syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadist.
Dalam menjalankan operasionalnya, bank berdasarkan prinsip syariah tidak menggunakan sistem bunga dalam menentukan imbalan atas dana yang dipinjamkan atau dititipkan oleh suatu pihak melainkan didasarkan pada prinsip bagi hasil sesuai dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam bunga adalah riba dan diharamkan. Dalam prinsip syariah perlu adanya akad yaitu kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.
Jenis-jenis akad dalam bank syariah :
Nama Akad
Penjelasan
Akad Wadiah
Perjanjian penitipan dana atau barang dari pemilik kepada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban bagi pihak yang menyimpan untuk mengembalikan dana atau titipan sewaktu-waktu.
Akad Musyarakah
Perjanjian pembiayaan atau penanaman dari dua atau lebih pemilik dana dan/atau barang untuk menjalankan usaha tertentu sesuai syariah dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan proporsi modal masing-masing.
Akad Murabahah
Perjanjian pembiayaan berupa transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak, dimana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.
Akad Salam
Perjanjian pembiayaan berupa transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
Akad Istishna
Perjanjian pembiayaan berupa transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan criteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
Akad Ijarah
Perjanjian pembiayaan berupa transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik objek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan.
Akad Qardh
Perjanjian pembiayaan berupa transaksi pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.
Bank syariah telah berkembang baik di dalam maupun luar negeri. Di Indonesia, keberadaaan bank syariah dimulai sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Bank Indonesia berperan dalam perkembangan bank syariah di Indonesia  dengan memberikan intensif dalam pembentukan dan pekembangan bank syariah. Dilihat dari pengaturan dan pengawasan bank maupun dari sisi instrumen dan mekanisme di pasar uang atau sistem pengelolaannya, penanganan bank syariah tersebut dikelola BI secara terpisah dengan bank konvensional. Prinsip pemisahan ini disebut dengan dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Bank syariah juga memiliki prinsip bank sebagai perantara keuangan. Bank syariah memiliki sumber dana (source of fund) dan penyaluran dana (use of fund) yang berbeda dengan karakterisik dan prinsip bank konvensional.
Tabel sumber dana (source of fund) pada bank syariah :
Simpanan
Prinsip Syariah
Tabungan
Wadi’ah Yad Dhamarah dan Mudharabah
Deposit
Mudharabah
Giro
Wadi’ah Yad Dhamarah
Investasi
Mudharabah
Simpanan Khusus
Mudharabah Muqayyadah
Menurut Undang-undang Perbankan Nomor 21 Tahun 2008, Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS  berdasarkan Akad wadi'ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Tabel penyaluran dana (use of fund) pada bank syariah :
Penyaluran Dana
Prinsip Syariah
Dana Talangan
Qardh
Penyertaan
Musyarakah
Sewa Beli
Ijarah Muntahiya Bittamlik (Ijrah Wa Iqtina)
Pembiayaan Modal Kerja
Mudharabah, Musyarakah, atau Murabahah
Pembiayaan Proyek
Mudharabah atau Musyarakah
Pembiayaan Sektor Pertanian
Bai As Salam
Pembiayaan untuk Akuisisi Aset
Ijarah Muntahiya Bittamlik
Pembiayaan Ekspor
Mudharabah, Musyarakah dan Murabahah
Anjak Piutang
Hiwalah
Letter of Credit
Wakalah
Gransi Bank
Kafalah
Inkaso, Transfer
Wakalah dan Hawalah
Pinjaman Sosial
Qardhul Hasan
Surat Berharga
Mudharabah, Qardh, Bai’ Aal Dayn
Safe Deposit Box
Wadi’ah Amanah
Jual Beli Valas
Sharf
Gadai
Rahn
Statistik Perbankan Syariah (Islamic Banking Statistics), Oktober 2013
Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah
Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar bank.
Selanjutnya berbagai program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III  tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.
Kedua, program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “bank syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.
Ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan  dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
Kelima, program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
Keenam, program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.


Referensi:
Margianti, E.S., & Budi Hermana. (2011). Manajamen Dana Bank Prinsip dan Regulasi di Indonesia. Jakarta: Gunadarma
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Perbankan Syariah. 2008. Bank Indonesia. Jakarta.
Budisantoso, Totok & Sigit Triandaru. (2011). Bank dan Lembaga Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.